Mencari Bentuk Pembiayaan Pendidikan

Written by Redaksi Web
Friday, 02 January 2009 14:18

Oleh | HENDRA SUGIANTORO

Pemerintah berencana menganggarkan sektor pendidikan sebesar 20 persen pada tahun 2009. Rencana kebijakan itu diapresiasi sebagai langkah mulia memajukan sektor pendidikan. Apakah persoalan pendidikan akan berhenti dengan kebijakan itu?

Harus diakui permasalahan pembiayaan pendidikan di negeri ini merupakan permasalahan klasik yang tak berujung. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) Rp 254.000 per siswa SD per tahun dan Rp 354.000 per siswa SMP per tahun yang diberikan ke sekolah sesuai jumlah siswa setiap 3 bulan sebenarnya belum mencukupi. Banyak sekolah yang hanya mengandalkan dana BOS sehingga sering kali memungut biaya dari orangtua siswa. Akibatnya, hampir setiap saat ditemui protes terkait urusan biaya sekolah. Anak putus sekolah meskipun berusaha diminimalisir, di berbagai daerah sebenarnya ada yang tidak terpantau. Khusus di dunia perguruan tinggi, banyak elemen kampus menentang kebijakan universitas menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat. Apalagi berubahnya perguruan tinggi menjadi badan hukum, aksi penolakan pun tak berhenti dikumandangkan.



Jika ditinjau berdasarkan UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, pendidikan tinggi sah-sah saja menarik dana dari masyarakat dengan syarat mengedepankan pertanggungjawaban publik (Pasal 24 Ayat 3). Namun persoalannya, masyarakat ternyata tidak memiliki aset kekayaan memadai untuk ikut serta membiayai pendidikan. Hal ini salah satunya disebabkan faktor kemiskinan dan kesejahteraan hidup yang tetap saja menjadi persoalan pelik di negeri ini.

Mengacu pada Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945, beberapa pihak menganggap telah terjadi pelanggaran konstitusi. Pemerintah dinilai melanggar konstitusi jika berlepas tangan terhadap biaya pendidikan warga negaranya. Tampaknya diperlukan penjelasan terkait ketentuan-ketentuan dalam Pasal 31 UUD 1945. Kewajiban pemerintah membiayai pendidikan cenderung tidak sampai perguruan tinggi dan hanya membiayai pendidikan dasar warga negaranya (Pasal 31 Ayat 2). Malah anggaran pendidikan sebesar minimal 20 persen pun sebenarnya tak mungkin untuk mencukupi biaya pendidikan setiap warga negaranya hingga merampungkan jenjang pendidikan tinggi. Dalam hal ini, hak warga negara memperoleh pendidikan tidak selamanya menuntut kewajiban negara membiayai pendidikan pascapendidikan dasar (SD-SMP). Memang tidak akan mungkin biaya pendidikan dibebankan kepada pemerintah secara keseluruhan mengingat anggaran negara juga diperlukan untuk memasok kebutuhan-kebutuhan nonpendidikan.

Merujuk hasil sebuah pengamatan, terdapat empat model pembiayaan pendidikan di dunia selama ini: Pertama, subsidi penuh dari jenjang pendidikan rendah (SD) hingga pendidikan tinggi (S-3).Kedua, mirip model pertama, masa gratis untuk pendidikan tinggi diberikan sampai usia tertentu. Ketiga, masa gratis hanya sampai SMA dan di perguruan tinggi tetap membayar SPP walau masih disubsidi. Keempat, semua jenjang pendidikan membiayai dirinya sendiri. Dana diperoleh dari kerja sama dengan industri atau perbankan, membentuk komunitas alumni atau murni semua diperoleh dari mahasiswanya.

Keempat model yang diutarakan di atas bukanlah standar baku pembiayaan pendidikan. Lalu, bagaimana model pembiayaan pendidikan yang sekiranya tepat diterapkan di Indonesia?

Dalam konteks Indonesia, jenjang pendidikan dasar (SD-SMP) dibiayai penuh negara, namun untuk jenjang pendidikan tinggi diperlukan kreasi dan inovasi perguruan tinggi mencari sumber pendanaan pendidikan. Yang perlu diperhatikan, perguruan tinggi jangan seenaknya menarik biaya pendidikan atas nama otonomi perguruan tinggi. Model tersebut terasa tepat dengan mengacu konstitusi dan seperti dikemukakan di muka, anggaran negara relatif tidak mungkin membiayai pendidikan warga negara hingga merampungkan jenjang pendidikan tinggi. Selain itu, peran masyarakat untuk menyokong biaya pendidikan sangat penting.

Konsep tabungan pendidikan sekiranya layak disosialisasikan kepada masyarakat. Masyarakat, lebih khusus lagi pihak keluarga, setidaknya membiasakan menabung untuk pendidikan anak-anaknya. Tabungan pendidikan ini bisa dimulai semenjak anak masih berada dalam kandungan sebagai persiapan pendidikannya kelak ketika menginjak bangku pendidikan tinggi.

Dengan asumsi satu anggota keluarga dapat menabung seribu rupiah setiap harinya, maka dalam sebulan mencapai Rp 30.000,00. Jika dihitung setahun, jumlah nominal tabungan pendidikan tersebut akan berkisar Rp 360.000,00. Dengan disiplin menabung setiap hari, maka ketika anak lulus dari jenjang pendidikan menengah (SMA) telah terkumpul Rp 6.480.000,00. Jumlah akumulasi tabungan pendidikan tersebut paling tidak bisa bermanfaat untuk membiayai pendidikan seorang anak memasuki perguruan tinggi.

Besaran uang bisa bertambah lebih banyak lagi dengan jumlah anggota keluarga yang bersedia menabung--minimal ayah dan ibu--dan tabungan setiap hari lebih dari seribu rupiah. Hal penting lainnya, kesadaran rasional jumlah anak dalam keluarga harus dimiliki. Keluarga dituntut memahami kondisi objektif kemampuannya dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anaknya.

Apakah tabungan pendidikan akan berjalan efektif? Tabungan pendidikan hanya salah satu alternatif di antara banyak alternatif lainnya. Alternatif selain tabungan pendidikan justru diharapkan semakin meringankan pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi. Lebih dari itu, negara bukan berarti boleh berdiam diri dan berlepas tangan begitu saja. Negara mutlak bertanggung jawab menyejahterakan setiap penduduk di negeri berjajar pulau-pulau ini, sehingga setiap keluarga di tanah persada Indonesia dapat memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Lagi-lagi, kesejahteraan merupakan hal utama agar masyarakat terentas dari jerat kemiskinan dan dapat memperoleh pendidikan secara layak.
Penulis, pemerhati masalah sosial dan pendidikan, staf Redaksi Educinfo FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Pembiayaan Pendidikan

Oleh : Hendra Sugiantoro

08-Jun-2008, 00:11:52 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - BICARA pendidikan tak mengenal kata usang. Permasalahan pendidikan sepertinya terlalu kompleks, termasuk pembiayaan pendidikan di negeri ini. Dana pendidikan di Indonesia merupakan masalah klasik yang tak berujung pangkal. Hampir setiap saat selalu ditemui protes keras kebijakan pendidikan biaya mahal. Khusus di dunia perguruan tinggi, banyak elemen kampus menentang kebijakan universitas menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat. Apalagi berubahnya perguruan tinggi menjadi badan hukum, aksi penolakan pun tak berhenti dikumandangkan. Ibarat anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, protes penolakan berakhir di tong sampah.

Jika ditinjau berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan tinggi sah-sah saja menarik dana dari masyarakat dengan syarat mengedepankan pertanggung jawaban publik (Pasal 24 ayat 3). Namun persoalannya, masyarakat ternyata tidak memiliki aset kekayaan memadai untuk ikut serta membiayai pendidikan. Hal ini salah satunya disebabkan faktor kemiskinan dan kesejahteraan hidup yang tetap saja menjadi persoalan pelik di republik ini.

Mengacu pada pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, ”Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, beberapa pihak non pemerintah menganggap telah terjadi pelanggaran konstitusi. Pemerintah dinilai melanggar konstitusi jika berlepas tangan terhadap biaya pendidikan warga negaranya. Bertambah inkonstitusional lagi, karena pemerintah sampai detik ini tidak mematuhi pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Anggaran pendidikan nasional sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN/ APBD masih sekadar impian di siang bolong.

Tampaknya diperlukan interpretasi win-win solution terkait ketentuan-ketentuan dalam pasal 31 UUD 1945. Kewajiban pemerintah membiayai pendidikan cenderung tidak sampai perguruan tinggi dan hanya membiayai pendidikan dasar warga negaranya (Pasal 31 ayat 2). Malah anggaran pendidikan sebesar minimal 20 persen pun sebenarnya tak mungkin untuk mencukupi biaya pendidikan setiap warga negaranya hingga merampungkan jenjang pendidikan tinggi.

Dalam hal ini, hak warga negara memperoleh pendidikan tidak selamanya menuntut kewajiban negara membiayai pendidikan pascapendidikan dasar (SD-SMP). Memang tidak akan mungkin biaya pendidikan dibebankan kepada pemerintah secara keseluruhan mengingat anggaran negara juga diperlukan untuk memasok kebutuhan-kebutuhan non pendidikan. Anggaran negara sebesar 100 persen pun relatif sulit menggratiskan pendidikan setiap warga negara hingga tamat perguruan tinggi.

Menurut Amhar (2005) yang dikutip Yusuf Wibisono, dosen FTP Universitas Brawijaya, terdapat empat model pembiayaan pendidikan di dunia selama ini. Pertama, subsidi penuh dari jenjang pendidikan rendah (SD) hingga pendidikan tinggi (S-3). Kedua, mirip model pertama, masa gratis untuk pendidikan tinggi diberikan sampai usia tertentu. Ketiga, masa gratis hanya sampai SMA dan di perguruan tinggi tetap membayar SPP walau masih disubsidi. Keempat, semua jenjang pendidikan membiayai dirinya sendiri. Dana diperoleh dari kerja sama dengan industri atau perbankan, membentuk komunitas alumni atau murni semua diperoleh dari mahasiswanya. (Opini Kompas, Jum’at, 19 Mei 2006).

Bagaimana pun, keempat model di atas bukanlah standar baku pembiayaan pendidikan. Dalam konteks Indonesia, jenjang pendidikan dasar (SD-SMP) dibiayai penuh negara, namun untuk jenjang pendidikan tinggi diperlukan kreasi dan inovasi perguruan tinggi mencari sumber pendanaan pendidikan. Model tersebut terasa tepat dengan mengacu konstitusi dan seperti dikemukakan di muka, anggaran negara relatif tidak mungkin membiayai pendidikan warga negara hingga merampungkan jenjang pendidikan tinggi.

Selain itu, peran masyarakat untuk menyokong biaya pendidikan sangat penting. Konsep tabungan pendidikan sekiranya layak disosialisasikan kepada masyarakat. Masyarakat, lebih khusus lagi pihak keluarga, setidaknya membiasakan menabung untuk pendidikan anak-anaknya. Tabungan pendidikan ini dimulai semenjak anak masih berada dalam kandungan sebagai persiapan pendidikannya kelak ketika menginjak bangku pendidikan tinggi.
Dengan asumsi satu anggota keluarga dapat menabung seribu rupiah setiap harinya, maka dalam sebulan mencapai Rp 30.000,00. Jika dihitung setahun, jumlah nominal tabungan pendidikan tersebut akan berkisar Rp 360.000,00. Dengan disiplin menabung setiap hari, maka ketika anak lulus dari jenjang pendidikan menengah (SMA) telah terkumpul Rp 6.480.000,00.
Jumlah akumulasi tabungan pendidikan tersebut paling tidak bermanfaat untuk membiayai pendidikan seorang anak sampai semester empat di bangku perguruan tinggi. Besaran uang bisa bertambah lebih banyak lagi dengan jumlah anggota keluarga yang bersedia menabung--minimal ayah dan ibu--dan tabungan setiap hari lebih dari seribu rupiah.

Hal penting lainnya, kesadaran rasional jumlah anak dalam keluarga harus dimiliki. Keluarga dituntut memahami kondisi objektif kemampuannya dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anaknya.
Apakah tabungan pendidikan akan berjalan efektif? Tabungan pendidikan hanya salah satu alternatif di antara banyak alternatif lainnya. Alternatif selain tabungan pendidikan justru diharapkan semakin meringankan pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi. Lebih dari itu, negara bukan berarti boleh berdiam diri dan berlepas tangan begitu saja. Negara mutlak bertanggung jawab menyejahterakan setiap penduduk di negeri berjajar pulau-pulau ini, sehingga setiap keluarga di tanah persada Indonesia dapat menabung untuk pendidikan anak-anaknya secara berkesinambungan. Lagi-lagi, kesejahteraan merupakan hal utama agar masyarakat terentas dari jerat kemiskinan dan dapat memperoleh pendidikan secara layak. Education is important!

Hendra Sugiantoro
Studi Sarjana di Universitas Negeri Yogyakarta


Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com

Evaluasi Program Pengajaran

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama (Penulis): afdhee
E-mail (Penulis): afdhee@yahoo.com
Saya Mahasiswa di Pekanbaru
Judul: Evaluasi Program Pengajaran
Topik: Evaluasi
Tanggal: 15 Mei 2007

EVALUASI PROGRAM PENGAJARAN

Program pengajaran merupakan suatu rencana pengajaran sebagai panduan bagi guru atau pengajar dalam melaksnakan pengajaran. Agar pengajaran bisa berjalan dengan efektif dan efisien, maka perlu kiranya dibuat suatu program pengajaran. Program pengajaran yang dibuat oleh guru tidak selamanya bisa efektif dan dapat dilaksanakan dengan baik, oleh karena itulah agar program pengajaran yang telah dibuat yang memiliki kelemahan tidak terjadi lagi pada program pengajaran berikutnya, maka perlu diadakan evaluasi program pengajaran.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah: Apakah yang dimaksud dengan evaluasi program? mengapa evaluasi program perlu dilaksanakan? Apakah yang menjadi objek atau sasaran dari evaluasi? dan Bagaimanakah cara melaksanakan evaluasi program?

Menurut Arikunto (1999: 290) "Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat keberhasilan program". Ada beberapa pengertian tentang program itu sendiri, diantaranya program adalah rencana dan kegiatan yang direncanakan dengan seksama. Jadi dengan demikian melakukan evaluasi program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan.

Yang menjadi titik awal dari kegiatan evaluasi program adalah keingintahuan penyusun program untuk melihat apakah tujuan program sudah tercapai atau belum. Jika sudah tercapai bagaimana kualitas pencapaian kegiatan tersebut, jika belum tercapai bagaimanakah dari rencana kegiatan yang telah dibuat yang belum tercapai, apa sebab bagian rencana kegiatan tersebut belum tercapai, adakah factor lain yang mempengaruhi ketidakberhasilan program tersebut.

Untuk menentukan seberapa jauh target program sudah tercapai, yang menjadikan tolak ukur adalah tujuan yang sudah dirumuskan dalam tahap perencanaan kegiatan sebelumnya.

Sasaran evaluasi adalah untuk mengetahui keberhasilan suatu program. Sebagimana yang dikemukakan oleh Ansyar (1989: 134) bahwa ".evaluasi mempunyai satu tujuan utama yatu untuk mengetahui berhasil tidaknya suatu program" Guru adalah orang yang paling penting statusnya dala kegiatan belajar mengajar, karena guru memegang tugas yang amat penting, yaitu mengatur dan mengemudikan kegiatan kelas. Untuk membuat proses belajar mengajar lebih efektif maka tugas guru adalah menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk pembelajara. Untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif tersebut perlu dirancang program pengajaran. Berhasil tidaknya suatu program pengajaran, tentu tidak bisa diketahui begitu saja, tanpa adanya evaluasi program. Oleh karena itu evaluasi program perlu dilaksanakan oleh guru dalam rangka mengetahui seberapa jauh proram pengajaran telah berlangsung atau terlaksana, dan jika terlaksana seberapa baik pelaksanaan program tersebut. Pendek kata, evaluasi program dilaksanakan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari program pengajaran.

Dalam melakukan evaluasi program, apanya dari program yang dievaluasi?

a. Input
Siswa adalah subjek yang menerima pelajaran. Ada siswa pandai, kurang pandai, dan tidak pandai. Setiap siswa mempunyai bakat intelektual, emosional, social yang berbeda. Oleh karena itu dalam pembuatan program pengajaran hendaknya guru juga perlu memperhatikan aspek-aspek individu tersebut. Secara umum, hal-hal yang ada pada siswa berpengaruh terhadap keberhasilan belajar.

b. Materi atau kurikulum
Di Indonesia, kurikulum berlaku secara nasional karena kita menganut system sentralisasi. Meskipun penyusunan dan pengembangan kurikulum sekolah sudah dilakukan secara cermat dan melibatkan banyak pihak, namun tidak mustahil bahwa di lapangan masih juga dijumpai kelemahan dan hambatan. Wilayah Indonesia yang sedemikian luas mengandung keragaman yang tidak sedikit. Itulah sebabnya guru perlu dibekali dengan kemampuan untuk melakukan evaluasi program, termasuk mengevaluasi materi kurikulum. Sasaran yang perlu dievaluasi dari komponen kurikulum ini anatara lain, kejelasan pedoman untuk dipahami, kejelasan materi yang terantum dalam GBPP, urutan penyajian materi, kesesuaian antara sumber yang disarankan dengan materi kurikulum dan sebagainya.

c. Guru
Guru merupakan komponen penting dalam kegiatan belajar mengajar. Guru adalah orang yang diberi kepercayaan untuk meciptakan suasana kelas yang kondusif untuk pembelajaran. Guru adalah manusia biasa yang mempunyai banyak keterbatasan. oleh karena itu untuk menutupi kelemahan guru perlu dilakukan pembinaan dan penataran dalmrangka melaksanakan pembelajaran

d. Metode atau pendekatan dalam mengajar
Berbeda dengan evaluasi terhadap kurikulum, evaluasi terhadap metode mengajar merupakan kegiatan guru untuk meninjau kembali tentang metode mengajar, pendekatan, atau strategi pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi kurikulum kepada siswa. Metode mengajar adalah cara-cara atau teknik yang digunakan dalam mengajar. Sedangkan strategi pembelajaran menunjuk kepada bagaimana guru mengatur waktu pemenggalan penyajian, pemilihan metoda, pemilihan pendekatan dan sebagainya.

e. Sarana
Komponen lain yang perlu dievaluasi oleh guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar adalah sarana pendidikan, yanga meliputi alat pelajaran dan media pendidikan. Sebelum guru memulai kegiatan mengajar, bahkan sebelum atau sekurang-kurangnya pada waktu menyusun rencana mengajar, guru telah memilih alat yang kira-kira dapat membantu melancarkan dan memperjelas konsep yang diajarkan. Selain guru, mungkin siswa juga dapat dijadikan titik tolak dalam menentukan apakah sarana yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar sudah tepat. Mungkin saja pada waktu menentukan alat pelajaran guru berpikir bahwa pilihannya sudah tepat. Tetapi ternyata di dalam praktek pelaksanaan pengajaran, alat tersebut ternyata kurang atau sama sekali tidak tepat. Proses pengajarannya tidak menjadi semakin lancar, tetapi mungkin bahkan kacau balau. Apabila guru menjumpai dalam mengajar atau ketidak berhasilan siswa dengan nilai rendah-rendah, ia dapat mecoba mengadakan evaluasi terhadap sarana yang digunakan. Sasaran evaluasi yang berkenaan antara lain kelengkapannya, ragam jenisnya, modelnya, kemudahannya untuk digunakan, mudah dan sukarnya diperoleh, kecocokan dengan materi yang diajarkan, jumlah persediaan dibandingkan dengan banyaknya siswa yang memerlukan.

f. Lingkungan
Ada dua macam lingkungan, yaitu lingkungan manusia dan lingkungan bukan manusia. Yang dapat digolongkan sebagai lingkungan masukan lingkungan manusia bukan hanya bukan hanya kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai tata usaha di sekolah itu, tetapi siapa saja yang dengan atau tidak sengaja berpengaruh terhadap tingkat hasil belajar siswa. Sedangkan yang dimaksudkan dengan lingkungan bukan manusia adalah segala hal yang berada di lingkungan siswa yang secara langsung maupun tidak, berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Yang termasuk kategori lingkungan bukan manusia misalnya suasana sekolah, halaman sekolah, keadaan gedung dan sarana lain. Pengaruh lingkungan bukan manusia dapat positif maupun negative. Tatanan perabot kelas yang rapi dapat berpengaruh terhadap kesejukan suasana sehingga siswa dapat belajar dengan tenteram. Sebaliknya suasana yang gaduh di luar kelas dapat mengganggu konsentrasi siswa dan menyebabkan siswa tidak dapat seperti yang diharapkan.

Apabila guru ingin melakukan evaluasi program dengan lebih seksama, terlebih dahulu hendaknya menyusun rencana evaluasi sekaligus menyusun instrument pengumpulan data. Instrument pengumpulandat bisa berupa angket, pedoman wawancara, pedoman pengamatan dan lain sebagainya. Sebagai cara yang paling sederhana adalah menagadakan pendekatan terhadap peristiwa yang dialami sehari-hari di kelas.

Untuk mengevaluasi progam seorang guru tidak perlu dibebani secara sistematis sebagaimana layaknya seorang peneliti. Akan tetapi guru cukup membuat acuan singkat dan sederhana yang disusun dalm bentuk pertanyaan. Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut guru akan memperoleh umpan terhadap apa yang dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan objek atau sasaran evaluasi program yang meliputi keenam aspek tersebut di atas.

Pengajaran dan pembelajaran adalah merupakan suatu aktivitas yang dilaksanakan oleh seorang guru. Agar program pengajaran yang telah dilaksanakan itu baik atau tidak perlu dilaksanakan suatu penilaian, yang sering dikenal dengan evaluasi program pengajaran. Evaluasi program pengajaran ini meliputi 1) Input (masukan), 2) materi atau kurikulum, 3) Guru, 4) Metode atau pendekatan dalam mengajar, 5) Sarana: alat pelajaran ata media pendidikan, 6) lingkungan.

Daftar Pustaka

Ansyar, Mohammad. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Depdikbud

Arikunto, Suharsimi. 1999. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Saya afdhee setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright).