Pembiayaan Pendidikan

Oleh : Hendra Sugiantoro

08-Jun-2008, 00:11:52 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - BICARA pendidikan tak mengenal kata usang. Permasalahan pendidikan sepertinya terlalu kompleks, termasuk pembiayaan pendidikan di negeri ini. Dana pendidikan di Indonesia merupakan masalah klasik yang tak berujung pangkal. Hampir setiap saat selalu ditemui protes keras kebijakan pendidikan biaya mahal. Khusus di dunia perguruan tinggi, banyak elemen kampus menentang kebijakan universitas menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat. Apalagi berubahnya perguruan tinggi menjadi badan hukum, aksi penolakan pun tak berhenti dikumandangkan. Ibarat anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, protes penolakan berakhir di tong sampah.

Jika ditinjau berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan tinggi sah-sah saja menarik dana dari masyarakat dengan syarat mengedepankan pertanggung jawaban publik (Pasal 24 ayat 3). Namun persoalannya, masyarakat ternyata tidak memiliki aset kekayaan memadai untuk ikut serta membiayai pendidikan. Hal ini salah satunya disebabkan faktor kemiskinan dan kesejahteraan hidup yang tetap saja menjadi persoalan pelik di republik ini.

Mengacu pada pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, ”Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, beberapa pihak non pemerintah menganggap telah terjadi pelanggaran konstitusi. Pemerintah dinilai melanggar konstitusi jika berlepas tangan terhadap biaya pendidikan warga negaranya. Bertambah inkonstitusional lagi, karena pemerintah sampai detik ini tidak mematuhi pasal 31 ayat 4 UUD 1945. Anggaran pendidikan nasional sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN/ APBD masih sekadar impian di siang bolong.

Tampaknya diperlukan interpretasi win-win solution terkait ketentuan-ketentuan dalam pasal 31 UUD 1945. Kewajiban pemerintah membiayai pendidikan cenderung tidak sampai perguruan tinggi dan hanya membiayai pendidikan dasar warga negaranya (Pasal 31 ayat 2). Malah anggaran pendidikan sebesar minimal 20 persen pun sebenarnya tak mungkin untuk mencukupi biaya pendidikan setiap warga negaranya hingga merampungkan jenjang pendidikan tinggi.

Dalam hal ini, hak warga negara memperoleh pendidikan tidak selamanya menuntut kewajiban negara membiayai pendidikan pascapendidikan dasar (SD-SMP). Memang tidak akan mungkin biaya pendidikan dibebankan kepada pemerintah secara keseluruhan mengingat anggaran negara juga diperlukan untuk memasok kebutuhan-kebutuhan non pendidikan. Anggaran negara sebesar 100 persen pun relatif sulit menggratiskan pendidikan setiap warga negara hingga tamat perguruan tinggi.

Menurut Amhar (2005) yang dikutip Yusuf Wibisono, dosen FTP Universitas Brawijaya, terdapat empat model pembiayaan pendidikan di dunia selama ini. Pertama, subsidi penuh dari jenjang pendidikan rendah (SD) hingga pendidikan tinggi (S-3). Kedua, mirip model pertama, masa gratis untuk pendidikan tinggi diberikan sampai usia tertentu. Ketiga, masa gratis hanya sampai SMA dan di perguruan tinggi tetap membayar SPP walau masih disubsidi. Keempat, semua jenjang pendidikan membiayai dirinya sendiri. Dana diperoleh dari kerja sama dengan industri atau perbankan, membentuk komunitas alumni atau murni semua diperoleh dari mahasiswanya. (Opini Kompas, Jum’at, 19 Mei 2006).

Bagaimana pun, keempat model di atas bukanlah standar baku pembiayaan pendidikan. Dalam konteks Indonesia, jenjang pendidikan dasar (SD-SMP) dibiayai penuh negara, namun untuk jenjang pendidikan tinggi diperlukan kreasi dan inovasi perguruan tinggi mencari sumber pendanaan pendidikan. Model tersebut terasa tepat dengan mengacu konstitusi dan seperti dikemukakan di muka, anggaran negara relatif tidak mungkin membiayai pendidikan warga negara hingga merampungkan jenjang pendidikan tinggi.

Selain itu, peran masyarakat untuk menyokong biaya pendidikan sangat penting. Konsep tabungan pendidikan sekiranya layak disosialisasikan kepada masyarakat. Masyarakat, lebih khusus lagi pihak keluarga, setidaknya membiasakan menabung untuk pendidikan anak-anaknya. Tabungan pendidikan ini dimulai semenjak anak masih berada dalam kandungan sebagai persiapan pendidikannya kelak ketika menginjak bangku pendidikan tinggi.
Dengan asumsi satu anggota keluarga dapat menabung seribu rupiah setiap harinya, maka dalam sebulan mencapai Rp 30.000,00. Jika dihitung setahun, jumlah nominal tabungan pendidikan tersebut akan berkisar Rp 360.000,00. Dengan disiplin menabung setiap hari, maka ketika anak lulus dari jenjang pendidikan menengah (SMA) telah terkumpul Rp 6.480.000,00.
Jumlah akumulasi tabungan pendidikan tersebut paling tidak bermanfaat untuk membiayai pendidikan seorang anak sampai semester empat di bangku perguruan tinggi. Besaran uang bisa bertambah lebih banyak lagi dengan jumlah anggota keluarga yang bersedia menabung--minimal ayah dan ibu--dan tabungan setiap hari lebih dari seribu rupiah.

Hal penting lainnya, kesadaran rasional jumlah anak dalam keluarga harus dimiliki. Keluarga dituntut memahami kondisi objektif kemampuannya dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anaknya.
Apakah tabungan pendidikan akan berjalan efektif? Tabungan pendidikan hanya salah satu alternatif di antara banyak alternatif lainnya. Alternatif selain tabungan pendidikan justru diharapkan semakin meringankan pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi. Lebih dari itu, negara bukan berarti boleh berdiam diri dan berlepas tangan begitu saja. Negara mutlak bertanggung jawab menyejahterakan setiap penduduk di negeri berjajar pulau-pulau ini, sehingga setiap keluarga di tanah persada Indonesia dapat menabung untuk pendidikan anak-anaknya secara berkesinambungan. Lagi-lagi, kesejahteraan merupakan hal utama agar masyarakat terentas dari jerat kemiskinan dan dapat memperoleh pendidikan secara layak. Education is important!

Hendra Sugiantoro
Studi Sarjana di Universitas Negeri Yogyakarta


Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com

0 komentar:



Posting Komentar

Leave a comment here...